.

Tuesday, June 2, 2015

I Love You Mom



Aku tinggal di sebuah kota di komplek yang mayoritas pemilik rumahnya adalah kalangan pengusaha. Aku tinggal bersama mama dan seorang pembantu karena Papaku kembali ke Amerika setelah papa dan mamaku bercerai. Mereka bercerai ketika aku berumur 12 tahun. Sampai beberapa bulan setelah mereka cerai aku mengalami tekanan batin sampai aku harus opname di rumah sakit untuk beberapa minggu.

Papaku keturunan orang Amerika. Jadi aku berdarah blasteran. Papa dan mamaku bertemu ketika mamaku kuliah di California. Dan mereka menikah di Amerika. Setelah aku berumur 5 tahun, kami pindah ke Jakarta. Namun walaupun mereka telah bercerai papaku dan nenekku yang di Amerika sering memintaku untuk menghabiskan liburanku di sana ketika aku sedang libur panjang. Papaku tidak seperti mamaku. Papa selalu care sama aku. Begitu juga keluarga papa. Mereka sering memintaku untuk tinggal bersama mereka. Namun aku selalu menolak. Aku tidak tega meninggalkan mama sendiri.

Seperti biasa, pagi itu aku dibangunkan oleh pembantuku. Mamaku sendiri tidak pernah membangunkanku karena mama sudah ke kantor dulu. Mamaku memang wanita karir. Hanya di rumah saat weekend saja. Itu pun masih mengerjakan pekerjaannya di rumah. Terkadang aku merasa seperti sebatang kara di dunia. Mama selalu pulang larut saat aku sudah tertidur.

Pernah aku mencoba menahan kantuk demi menunggu mama pulang untuk mendapatkan sebuah kecupan sebelum tidur. Tapi mama justru memarahiku. “Kamu ngapain belum tidur? Anak kecil nggak boleh tidur larut malam. Nggak baik buat kesehatan”, katanya waktu itu.
Aku tau mama menyayangiku. Tapi mama salah mengartikan hal tersebut. Mama mengira bahwa dengan semua kebutuhanku terpenuhi aku akan bahagia. Tapi aku tidak pernah mengutarakan hal tersebut karena aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengutarakannya pada mama.

“Mama udah pergi ya Bi?” tanyaku pada bibi sambil menyisir rambutku.
“Sudah Non. Non mau mandi dulu atau sarapan dulu?”
“Ya mandi dulu lah Bi. Kalo makan dulu nanti seperti kebo dong” kataku sambil tersenyum pada wanita setengah baya itu.
Aku memang akrab sekali dengan Bi Ijah. Karena sejak kecil aku lebih sering menghabiskan waktu dengan Bi Ijah dari pada dengan mamaku sendiri. Terkadang aku bercerita tentang masalahku kepada Bi Ijah. Dia begitu baik padaku.
“Non, susu sama rotinya sudah Bibi taruh di meja makan ya”, kata Bi Ijah dari luar kamar mandi. Sementara aku sedang mandi di dalam.
“Iya Bi”, jawabku.

Setelah aku selesai mandi, aku langsung pergi ke kamar untuk bersiap-siap memakai seragam. Setelah semuanya siap, aku langsung pergi ke meja makan untuk sarapan. Saat aku mengunyah rotiku, Bi Ijah menghampiriku.
“Non, Bibi mau pulang kampung. Ibu Bibi lagi sakit keras. Bibi harus merawat ibu Bibi”, kata Bi Ijah sambil membawa tas yang berisi pakaian.
Seketika aku terkejut sampai susu yang kuminum keluar dari mulutku dan mengenai meja makan. Perlahan air mataku membasahi pipiku. Aku tak menyangka orang yang selama ini selalu menjaga dan mengurusiku lebih dari ibu kandungku akan pergi.
“Bibi serius? Bi tolong jangan pergi. Nanti siapa yang akan temenin aku kalau mama pergi ke luar negeri? Siapa yang akan aku peluk kalau aku lagi sedih? Terus siapa yang akan denger curhatanku saat aku lagi ada masalah di sekolah? Bibi itu udah aku anggap seperti mama kedua buat aku”, kataku sambil memeluk Bi Ijah.
Akhirnya dengan berat hati aku harus melepaskan Bi Ijah pergi. Lalu aku pergi ke sekolah dengan taxi. Karena di rumah tidak ada sopir dan mama tidak pernah mengantarku. Walaupun ada mobil di rumah tapi aku masih kelas 3 SMP, jadi aku belum boleh bawa mobil.

Setibanya di sekolah, aku disambut oleh sahabatku Tita. Dia sahabat yang baik. Kami selalu bersama walaupun beda kelas. Kami sudah lama berteman. Orangtua kami punya hubungan bisnis. Terkadang aku menginap di rumahnya atau sebaliknya. Kami sudah seperti saudara kandung.
“Eh, kamu kenapa sih Lice? Kamu kelihatannya murung banget. Cerita dong sama aku kalau kamu ada masalah”, kata Tita ketika kami duduk di taman sekolah.
“Bi Ijah pulang kampung Ta. Katanya sih nggak balik lagi karena harus merawat ibunya yang sedang sakit. Kalo nggak ada Bi Ijah, pasti nggak ada yang temenin aku. Mama nggak pernah peduli sama aku. Aku sempat berpikir apa aku harus ikut papaku yang nggak pernah nelantarin aku”, kataku.
“Kamu mau tinggal di Amerika? Kamu nggak kasihan sama mama kamu? Aku bakalan berat hati banget kalau kamu jadi ke Amerika. Alice, aku tau yang kamu rasakan. Kamu pasti merasa sendiri kan? Kamu nggak sendiri kok Lice. Ada aku, aku udah anggep kamu seperti saudaraku. Kamu boleh peluk aku, kamu boleh cerita semua masalahmu sama aku, bahkan kamu boleh memintaku untuk menemanimu”, kata Tita sambil memelukku.
“Makasih, Ta. Kamu memang saudara yang terbaik buat aku. Aku beruntung bisa mengenalmu” kataku.

Siang itu hari sedang hujan. Aku menunggu hujan reda di depan kelas. Lalu aku berjalan ke depan aula agar jika hujan reda aku bisa langsung pulang. Aku berjalan seorang diri karena sekolah sudah mulai sepi. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dari belakang. Orang itu lalu menghampiriku sambil berlari.
“Alice, kamu mau pulang?” katanya.
Ternyata dia adalah Ivan, teman sekelas Tita. Aku baru saja mengenalnya beberapa hari yang lalu. Kami berkenalan saat Tita mengundang teman-temannya untuk ke rumahnya. Lalu dia mengantarku pulang karena rumah kami satu arah.
“Iya nih. Tapi hujannya nggak reda-reda. Padahal udah sore banget”, kataku.
Kemudian dia mengeluarkan jaket dari tasnya.
“Ayo pakai jaketku saja. Nggak bakal basah kok”, katanya.

Kami pun berjalan menuju gerbang sekolah. Ivan menggunakan jaketnya sebagai penutup agar kami tidak basah oleh air hujan. Lalu Ivan menyetop taxi untuk kami berdua. Dia mengantarkanku sampai di depan rumahku.
Setelah turun dari taxi, aku langsung masuk ke rumah karena hujan masih sangat deras. Namun sesampainya di ruang keluarga aku terkejut karena mama sudah berada di sofa. Biasanya mama pulangnya larut. Tapi hari ini berbeda.
“Siapa tadi yang mengantarmu? Pacarmu? Kamu terlalu muda”, kata mama setengah membentakku.
“Apa mama peduli? Setiap malam aku menunggu mama. Aku ingin mama menciumku sebelum aku tidur. Tapi mama terlalu sibuk untuk itu. Aku capek ma. Aku merasa tak seorang pun di dunia yang peduli kepadaku. Aku merasa sepi. Terkadang aku berpikir untuk pergi ke Amerika,” kataku sambil meneteskan air mata.
Mama hanya diam saat aku berkata seperti itu. Lalu aku meninggalkan mama yang masih terdiam di sofa dan pergi ke kamar. Lalu aku mengeluarkan laptopku dan menyalakan obrolan facebook untuk bercerita kepada papa. Kami berbicara melalui video call. Papa menghiburku dan menyanyikan sebuah lagu yang sering kami nyanyikan dulu.
Aku lihat papa menangis. Aku ingin memeluknya. Aku lebih menyayangi papa dari pada mama. Papa selalu peduli sama aku. Hampir setiap malam kami mengobrol melalui video call. Itu adalah jalan satu-satunya untuk melepaskan kerinduan kami berdua. Papa selalu menanyakan nilaiku dan apakah aku sudah makan malam. Begitu juga aku. Aku selalu menanyakan bagaimana pekerjaannya dan apakah dia sudah benar-benar tidak merok*k.
“Papa, when you come to Indonesia? I miss you so much. I want to kiss you and hug you. I want to tell you about someone I love in my school. And we will sing together”, kataku
“As soon as possibly my child. keep yourself. Be a my strong girl. You are my beautiful little angel. I don’t want my beautiful little angel sad and cry. I want to see your smile. Smile for me please”, katanya.

Pagi itu aku terbangun dan terkejut melihat mama berada di sampingku dan tertidur pulas. Lalu aku pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Saat aku kembali ke kamar ternyata mama sudah terbangun. Dia tersenyum kepadaku. Lalu dia mencium keningku.
“Morning Dear. Mumpung hari libur yuk kita ke Bandung. Ke rumah tante Wina. Udah lama Mama nggak ketemu sama tantemu itu. Pengen rasanya menghabiskan weekend bersama kamu”, kata mama.

Kami pun pergi ke Bandung. Di perjalanan Mama selalu menanyakan tentang sekolahku. Hari ini mama terlihat berbeda. Dia begitu perhatian sama aku. Mungkin mama sadar setelah mendengar perkataanku tadi malam. Aku bahagia mama seperti itu.

Kami menginap di rumah tante Wina. Malamnya aku kembali mengobrol dengan Papa melalui video call. Aku menceritakan semua yang aku rasakan hari ini. Papa terlihat sangat bahagia mendengar ceritaku.
“Dear, please call your Mama. I want to say something to her”, kata Papa.
Lalu aku memanggil mama dan mengajak mama ke kamar. Mama tersenyum malu saat aku berkata bahwa papa ingin berbicara padanya. Sepertinya rasa cinta antara mereka masih tersimpan di masing-masing lubuk hati mereka. Aku menarik lengan mamaku agar cepat masuk ke kamar.
“Honey, do you want to say with me?” kata mamaku pada papaku.
“That’s right. Tomorrow is your birthday. Now I want to be first say happy birthday to you. So, happy birthday Honey, I wish Allah bless you. I love you”, kata papaku.
“Oh thanks Honey. I love you too,” kata mamaku.

Kami mengobrol bertiga melalui video call. Aku bahagia karena baru kali ini kami mengobrol bertiga setelah mereka bercerai. Sampai pada pukul 00.00 aku dan papa kembali mengucapkan selamat ulang tahun pada mama secara bersamaan. Lalu aku pergi menuju lemari untuk mengambil kado untuk mama yang telah aku siapkan jauh hari.
Aku memberikannya pada mama. Mama membukanya dengan senang hati. Mama kemudian memeluk dan menciumku. Aku merasa sempurna hari ini. Aku merasa punya papa dan mama yang masih utuh walaupun hanya mengobrol melalui video call.
“What your gift for me Honey?” Tanya mama pada papa. Pertanyaan itu hanya untuk menggoda papa saja. Aku tahu itu.
“My gift for you is, next month I will visit you. I will stay for three months” kata papa.
Mendengar kata papa, aku dan mama langsung menjerit pelan kegirangan. Aku tak sabar untuk menunggu kedatangan papa. Aku akan merasakan hangatnya rumahku ketika aku, mama, dan papa bisa berkumpul kembali. Walaupun hanya untuk tiga bulan. Aku berjanji akan menghargai setiap detik selama tiga bulan nanti.

Pagi itu aku dan mama akan pulang ke Jakarta lagi. Kami mengendarai mobil. Namun di tengah perjalanan mobil mogok. Hari masih agak gelap karena masih pukul 5 pagi. Lalu mama keluar untuk melihat apa yang membuat mobil yang kami tumpangi mogok. Saat mama keluar dan menutup kembali pintu mobil, datang sebuah kendaraan yang menyerempet mama. Hingga mama terpental beberapa meter.
Aku menjerit dan keluar dari mobil untuk melihat mama. Pengendara kendaraan yang telah menabrak mama kabur. Aku melihat tubuh mama penuh dengan darah. Aku menangis dan takut. Aku menjerit meminta tolong sani-sini. Hingga akhirnya ada orang yang mengantarkan kami ke rumah sakit.

Di perjalanan menuju rumah sakit, mama sadar. Nampak dari wajahnya dia menahan sakit yang amat sangat menyiksanya. Aku memeluknya. aku mencium tangannya. Namun dia hanya tersenyum padaku.
“Mama, aku tau mama kuat. Mama bertahanlah. Aku yakin Mama nggak akan biarin aku sendiri di dunia. aku sayang mama. Aku nggak mau kehilangan mama. Mama bertahan ya”, kataku.
Namun mama hanya tersenyum. Beberapa detik kemudian aku merasakan tangannya yang sedari tadi menggenggam tanganku mulai terlepas. Aku terus memanggilnya. Namun matanya perlahan terpejam. Hingga akhirnya dia menghirup udara kuat-kuat dan menghembuskannya kembali dengan kuat.
Setelah itu, aku tidak merasakan dia bernapas. Aku tau mama sudah pergi untuk selamanya. Aku mencium keningnya beberapa menit lamanya. Hingga akhirnya aku mencium punggung telapak tangannya.
“Selamat jalan Ma. Alice sayang Mama”, kataku perlahan yang aku bisikan di telinga mama.
Beberapa jam sebelum kejadian ini terjadi aku sempat berpikir bahwa aku akan merasakan mempunyai papa dan mama kembali untuk tiga bulan. Namun aku salah. Tuhan telah menunjukkan jalan yang lain untukku.

Setelah kepergian mama, aku memilih tinggal di Amerika bersama papa. Aku harus meninggalkan sahabatku, Tita dan orang yang aku suka, Ivan dan keluarga mama. Serta rumah yang selama ini memberiku kenangan pahit dan manis bersama papa dan mamaku serta Bi Ijah.

Sebelum aku berangkat ke Amerika, aku berkunjung ke rumah Bi Ijah bersama papaku. Aku ingin pamit dan memberikan sedikit bantuan untuk pengobatan ibu dari Bi Ijah. Aku juga mengundang Tita dan Ivan untuk dikenalkan pada papaku. Aku pernah berjanji akan menceritakan pada papa orang yang aku suka. dan saat itulah aku bercerita pada papa tentang Ivan.

Aku memandangi seluruh rumahku dan isinya. Aku menengok kamar mama. Aku akan merindukan rumah ini. Di rumah inilah aku pernah merasakan mempunyai keluarga yang utuh. Aku meminta pada papa agar rumah ini tidak dijual. Aku akan tinggal di sini saat aku berkunjung ke Indonesia.
“Kami akan sangat merindukanmu”, kata Ivan sambil matanya mengeluarkan air mata.
“Aku juga. Nanti kalau aku ada libur panjang aku akan berkunjung ke Indonesia. Dan kita akan bermain bersama lagi”, kataku sambil tersenyum namun dengan air mata yang bercucuran.
“Aku dan Ivan akan selalu menunggumu untuk berkunjung lagi ke sini. Jangan pernah lupakan kami”, kata Tita sambil memelukku.

Dengan berat hati aku harus meninggalkan mereka yang aku sayang untuk tinggal di suatu tempat yang jauh. Dan aku harus meninggalkan benda yang bisa mengingatkanku pada mamaku. Aku melambaikan tanganku pada Tita dan Ivan lewat kaca mobil. Dan mereka juga melambaikan tangan padaku dengan air mata yang berlinang di mata mereka.
Perlahan tapi pasti sosok mereka menghilang dari pandanganku. Di perjalanan menuju bandara aku bersandar di bahu papa dan tangan papa memelukku. Papa menghiburku dengan menyanyikan lagu yang sering aku nyanyikan waktu kecil. Aku pun ikut bernyanyi sambil menangis. Aku teringat saat aku, papa dan mama menyanyikan lagu itu di taman belakang rumah yang sekarang aku tinggalkan.

No comments:

Post a Comment